Pages

Love Gives


"Love ever
gives, forgives, outlives,
and ever stands
with open hands,
for while it lives, it gives.
For this is love's prerogative—
to give, and give,
and give."


John Oxenham

19 Oktober 2010

I’m With You


I’m With You
By : Khairina Zulfathana Mahmuda
9 bilingual 1

Tesha dan Arta sudah bersahabat sejak mereka berumur 7 tahun. Awal persahabatan mereka dimulai ketika orangtua Arta yang pindah dan bertugas di kota Jakarta. Rumah Arta tepat berada disebelah kiri rumah Tesha. Tesha, gadis cantik, baik, pandai, dan tertutup karena  saat berusia 4 tahun, salah satu ginjalnya mengalami kerusakan, sehingga dia hanya memiliki satu buah ginjal yang berfungsi dengan baik. Arta, pria baik, tampan, pandai, dan selalu melindungi Tesha sehingga Tesha sudah menganggap Arta sebagai kakaknya sendiri.
Sejak Tesha kehilangan fungsi satu ginjalnya, Tesha mudah sekali terserang penyakit. Karena hal itulah, Tesha tidak mempunyai seorang teman pun, karena tidak ada yang mau berteman dengan orang sakit-sakitan seperti dirinya dan juga Tesha tidak mau merepotkan orang lain, maka dari itu dia menjadi orang yang tertutup. Namun,Tesha mendapatkan seorang sosok sahabat bahkan kakak dan orang itu adalah Arta. Ya, Arta, dia adalah sahabat, tetangga, dan sudah Tesha anggap sebagai kakaknya sendiri. Hanya Arta yang mau berteman dengannya, hanya Arta yang menerimanya apa adanya, dan hanya Arta yang selalu melindungi Tesha dari cacian teman-temannya yang lain.
*****
Udara pagi itu terasa sangat sejuk, bulis-bulir air berjatuhan dari dedaunan karena hujan semalam, nyanyian burung-burung meramaikan pagi, matahari mulai menampakkan wujudnya karena jam sudah menunjukkan pukul 06.15. Arta sudah menunggu di kursi tamu rumah Tesha untuk menjemputnya. Tak perlu menunggu lama, pintu rumah Tesha pun terbuka dan menampakkan Tesha yang berpamitan dengan orang tuanya. Arta pun ikut berpamitan pada orang tua Tesha.
Setelah berpamitan, Arta membonceng Tesha di motor sport merah gagah miliknya. Mereka menuju sekolah mereka, SMA Jajijujejo.
*****
            Sebentar lagi giliran Tesha tiba,  jantungnya berdebar-debar menunggu rekan satu timnya memberikan tongkat. Ya, hari ini pelajaran olahraganya adalah lari estafet.
“Sha!!” Teriak temannya dari belakang sambil menyerahkan tongkat estafet. Dengan cepat Tesha menerima dan melanjutkan perjuangan teman satu timnya. Karena Tesha adalah pelari terakhir, jadi dia adalah harapan teman-temannya agar tim mereka tidak kalah dan mendapat hukuman.
Garis finish sudah didepan mata, Tesha merasakan nyeri pada perut sebelah kirinya namun dia tetap berlari sekuat tenaga karena dia berada pada posisi ke empat dari lima tim, dan dua diantaranya sudah mecapai garis finish.
Tesha menutup kedua matanya selama beberapa detik, kemudian membuka matanya lagi dan ternyata berhasil. Timnya tidak menjadi yang terakhir karena lawan terakhirnya baru saja mencapai garis finish saat dia sudah melewati garis finish.
“Tesha” teriak suara yang sudah sangat familiar dikupingnya, tapi kemudian dia tidak mendengar apa-apa lagi dan semuanya mejadi gelap.
*****
“Pah, Ma, kalau misalnya Arta udah gak ada. Tolong, Arta pengen ginjal Arta ini Arta donorin ke Tesha, ya?” Kata Arta saat makan malam bersama ayah dan ibunya. Ayah dan ibunya hanya bisa terdiam mendengar ucapan Arta.  
“Ta, Arta!” Panggil Tesha yang sudah tersadar dari pingsannya.
“Kamu mikirin apa, Ta?” Tanya Tesha.
“Oh, enggak, gak papa kok. Kamu udah baikan?”
“Lumayan. Balik ke kelas, yok!” Ajak Tesha sambil berusaha bangun.
 *****
Sesampainya dikelas, Tesha dan Arta mendapati  tidak ada guru dikelasnya.  Mereka pun mengambil tempat duduk.  Mereka kemudian memperhatikan keadaan kelas mereka. Veno, Ella, Sinta, Monic, dan Eriq sedang bermain kartu sembari menunggu kedatangan sang guru. Mereka adalah salah satu pembuat keributan saat ini. Mereka tidak berhenti mengoceh selama bermain.
“Enak ya jadi mereka?” Gumam Tesha.
“Eh?” Arta kebingungan dengan apa yang dimaksud Tesha.
“Andai aku bisa kayak mereka. Andai aku bisa tertawa lepas kayak mereka. Andai aku punya teman banyak. Tapi, aku sudah punya Arta, sahabat terbaikku. Sahabat yang selalu ada untukku. Tapi, kadang aku merasa sepi. Kadang aku merasa aku hanya menyusahkan Arta….”
“Sha, PR kamu udah?” Arta meleburkan lamunan Tesha.
“Ha? Oh yaya, udah udah.” Tesha kemudian menyadari bahwa sang guru sudah berada di mejanya.
“Sini aku kumpulin”
“Eh iya, makasih ya, Ta” Tesha menyerahkan buku PR fisikanya kepada Arta. Kemudian pelajaran pun berjalan seperti biasa.
*****
Hari ini hari Minggu, Arta ingin mengajak Tesha jalan-jalan ke Dufan. Untuk itu Arta menelpon Tesha
“Hallo. Assalamu ‘alaikum.” Sapa Arta lembut setelah telponnya tersambung dengan handphone-nya Tesha.
“Wa ‘alaikumsalam. Ada apa, Ta?” Jawab Tesha.
”Sha, kamu bisa gak hari ini jalan sama aku ke Dufan?”
“Kayaknya bisa aja sih. Jam berapa emangnya?”
“Jam 2 ya? Bisa kan?”
“Oh iya deh.”
“Udah ya. Assalamu ‘alaikum”
“Wa ‘alaikumsalam” Tititit.. sambungan pun terputus.
Setelah menelpon Tesha, Arta mengambil kunci mobilnya dan berpamitan kepada orang tuanya. Rencananya Arta ingin memberikan hadiah kepada Tesha. Entah mengapa Arta merasa dia akan berada jauh dari Tesha, maka dari itu dia mengajak Tesha untuk jalan-jalan.
*****
“Tesha pasti suka ini” Batin Arta sambil mengambil boneka beruang besar berwarna putih yang diletakkan dibagian atas rak boneka. Arta pun pergi ke kasir dan membayar boneka itu. Arta meletakkan boneka beruang itu dibangku penumpang tepat disebelahnya. Ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya, lalu meletakkan sebuah kalung emas putih berliontin bintang dengan ukiran “Arsha” tepat ditengah-tengahnya.
Arta melihat jam tangannya, ternyata jam sudah menunjukkan pukul 1, dan masih hanya tersisa 1 jam lagi dari jam janjinya. Arta menghidupkan mobilnya keluar dari arah pertokoan dan melaju ke rumahnya.
Arta melajukan mobilnya dengan kencang karena takut terlambat menjemput Tesha. Sekarang Arta berada di jalan yang sepi, maka dari itu, dia menambah kelajuan mobilnya. Tapi siapa kira, ternyata dari arah berlawanan sebuah truk tengah melaju dengan kencang dan melewati garis pembatas.
Arta segera membanting setir, dan alhasil mobil yang dikendarainya menabrak pohon yang ada dipinggir jalan.
*****
Jam sudah menunjukkan pukul 2 lewat lima belas menit, namun Arta tak kunjung menjemput Tesha. Tesha  yang kebingungan karena tak biasanya Arta telat menepati janjinya tanpa member kabar sebelumnya pun akhirnya mengambil inisiatif untuk mendatangi rumah Arta.
Tesha dipersilahkan masuk oleh orangtua Arta sembari menunggu Arta pulang. Namun sampai pukul setengah tiga, Arta tak kunjung kembali juga. Tesha sangat khawatir akan hal itu. Tiba-tiba suara telpon rumah Arta berdering dan ibu Arta mengangkat telpon itu.
“Selamat siang, kami dari tim kepolisian. Apa benar Anda pemilik mobil berplat B 999 B?”
“Benar, Pak. Tapi, mobil itu sedang dipakai anak saya.”
“Kalau begitu anak ibu sekarang sedang berada di RS Bzzz, dia mengalami kecelakaan.” Gagang telpon seketika  terlepas dari genggaman ibu Arta. Air mata segera mengucur dari kedua matanya.
“Ma, kenapa, Ma? Tenang, Ma. Ada apa dengan telpon tadi?” Tanya ayah Arta menenangkan istrnya.
“Arta, Pa. Arta… kecelakaan. Dia sekarang sedang di RS Bzzz” Ayah Arta terkejut mendengar kenyataan tersebut, namun dengan cepat dia mengambil kunci mobil dan mengajak istrinya dan Tesha untuk pergi ke rumah sakit.
*****
 Mereka segera menuju ruang Arta dirawat setelah sebelumnya bertanya pada resepsionis. Di ruang tersebut, mereka mendapati Arta yang sedang berbaring lemah dengan beberapa balutan di kepala, serta dibeberapa bagian lainnya. Berbagai macam alat dihubungkan ke tubuh Arta.Mereka hanya bisa terdiam dan berdoa demi kesembuhan Arta.
Sudah 6 jam dari kedatangan mereka kemari, namun Arta tak kunjung sadar juga. Tesha yang duduk di bangku yang ada disebelah ranjang Arta sambil menggenggam tangan Arta merasa tangan Arta bergerak, dan benar saja Arta membuka matanya dengan perlahan dan memanggil nama Tesha lirih. Arta kemudian berbicara pada Tesha.
“Sha, itu buat kamu. Disimpan baik-baik ya. Maaf aku gak bisa nepatin janji aku untuk jalan-jalan sama kamu hari ini.” Ucap Arta dengan menunjuk boneka yang ia beli siang tadi. Tesha menatapnya sekilas dan kembali menatap Arta.
“Makasih ya, Ta.”
“Sama-sama. Kenapa gak kamu ambil? Kamu gak suka?”
“Aku suka kok, suka banget malah.”
“Nah, sekarang kamu ambil kalung yang ada di leher boneka itu, terus kamu duduk lagi disini.” Tesha menuruti apa kata Arta. Dia berjalan kearah boneka itu dan melepaskan kalung yang ada di lehernya kemudian kembali duduk ditempatnya semula.
“Kamu liat,kan? Di situ ada tulisan Arsha, itu melambangkan Arta dan Tesha. Sekarang kamu pakai kalung itu di depan aku. Kalau aja aku bisa makein kalung itu ke kamu, tapi sekarang aku gak bisa. Maaf, ya?” Air mata Tesha hamper saja jatuh, namun dia tidak mau Arta sedih melihatnya menangis. Tesha pun memakai kalung itu.
“Makasih banyak ya, Ta. Aku gak tau harus bales semua kebaikanmu ini gimana. Kamu udah nolongin aku, sedangkan aku? Aku cuman bisa nyusahin kamu aja. Maaf ya?”
“Iya, Sha. Kamu cukup jaga kalung itu dan boneka itu. Udah, gitu aja cukup kok.”
“Ta, kamu bisa janji sesuatu gak sama aku?”
“Selama aku bisa nepatinnya, aku bisa janji. Janji apa?”
“Kamu bisa gak janji kalau kamu harus bisa sembuh habis itu kita jalan-jalan lagi?”
“Maaf, Sha. Aku gak bisa. Mungkin untuk kedepannya juga gak bisa. Maaf”
“Tapi kenapa? Kenapa, Ta? Kenapa kamu gak bisa janji sama aku?” namun pertanyaan itu hanya disimpannya dalam hati.
“Ya sudah, kamu istirahat aja.”
“Iya, tapi aku mau bicara dulu sama papa aku.” Ayah Arta yang sedari tadi memperhatikan Arta dan Tesha. Tesha pun bertukar  tempat dengan ayahnya Arta.
“Pa, masih ingatkan dengan permintaan Arta waktu kita makan malam sama-sama?” Tanya Arta dengan serius dan volume kecil.
“Hmmm.. tentang transpalasi ginjal itu ,ya?” Ayah Arta mengingat-ngingatnya.
“iya. Papa bisakan?”
“Iya, Ta.”
“Makasih, Pa. Maaf, ya kalau Arta ada salah selama ini.”
“Papa juga, Ta.”
“Pa, bisa Arta bicara sama Mama?”
“Bentar, ya. Papa bangunin Mama kamu dulu.“ ayahnya pun membangunkan ibunya Arta. Kemudian ibunya duduk di bangku yang tadi diduduki suaminya.
“Ma, Maafin Arta, Ma. Terimakasih buat semuanya yang Mama udah kasih ke Arta. Makasih, Ma.”
“Iya sayang, Mama juga minta maaf ya. Udah, sekarang kamu istirahat aja.” Ibunya Arta mengecup kening anaknya dengan lembut.
*****
            Kini Tesha tau semua jawaban dari segala pertanyaan yang malam tadi tidak terjawab. Kini Tesha tau kenapa Arta gak bisa janji sama dia. Karena jawabannya hanyalah sebuah jawaban yang sangat sederhana, yaitu ‘Arta udah gak ada’.Ya, Arta udah gak ada, tepat waktu kematiannya pun gak ada yang tau, karena semua orang sudah mendapatinya tidak bernafas saat bangun tidur.
            Sekarang Tesha sudah berada di ruang operasi. Dia akan menjalani operasi transpalasi ginjal. Dan pendonor ginjal itu adalah Arta.
Tesha menggenggam kalung yang Arta berikan padanya dan mulai berdoa untuk kelancaran operasinya hingga ia tidak merasa apa pun lagi.
*****
“Ta, makasih buat semuanya. Semua yang telah kamu berikan sama aku ; perlindungan, kasih sayang, kesabaran, cara menerima kehidupan, dan satu bagian dari dirimu. Aku janji, aku gak akan nyianyiain semua yang sudah kamu berikan sama aku. Terima kasih buat semuanya .Semoga kamu bahagia disisi-Nya.”
            Tesha menitikkan air matanya di depan makam Arta. Setelah kepergian Arta tepatnya satu tahun yang lalu, hidup Tesha berubah karena Arta telah mendonorkan ginjal kepada Tesha.  Kini Tesha sudah menjadi gadis yang periang dan mempunyai banyak teman.
            Tesha kemudian meletakkan karangan bunga dan sebuah piala yang ia pegang sedari tadi. Piala yang ia dapat karena memenangkan lomba lari antar-SMA se-DKI.
“Aku tau, meski kamu gak ada disini, tapi kamu selalu denganku di sepanjang hidupku.” Ucapnya sambil memegang bagian perut sebelah kiri, tempat ginjal Arta terletak. Kemudian dia meninggalkan makam Arta.
T.A.M.A.T

0 komentar:

Posting Komentar


Always Smilling